Halaman

Rabu, 15 Desember 2010

Kill My mystery


Aku berhasil membunuhnya. Dua orang dalam duapuluh menit. Dua orang dalam satu tempat. Dua musuh dalam duapuluh menit. Yang jelas duapuluh menit ini amat berarti. Duapuluh menit yang menegangkan, yang nantinya akan merubah waktu-waktuku mendatang menjadi lebih cerah, meski aku tahu kecerahan itu harus dibayar secara mahal. Kecerahan disini bagiku mungkin adalah masa suram bagi banyak orang. Kecerahan dalam gelapnya ruang prodeo.
Segera saja kubersihkan darah yang masih menempel pada pisau dapurku. Bekasnya masih tersisa beberapa, sehingga harus aku cuci dan memakan beberapa waktu yang ada. Lantas, aku segera pergi. Meninggalkan lokasi. Tatapan orang nampak tak mengenakkan hati. Meski mereka tak menyaksikan pembunuhan itu, mereka seperti mencium kelakuan yang aku perbuat tadi. Pandangan mereka dingin. Berubah picik putih seperti salju yang turun lalu tertimbun berjibun diatas permukaan tanah. Maka, segera. Langkahku kian cepat. Kian santer.
Tanpa aku sadari langkahku berubah menjadi lelarian kecil. Ini nampak seperti titik pada lembaran HVS kosong. Orang-orang menatapku. Aku merasakannya. Beberapa diantara mereka malah mentertawakanku. Namun tak jarang mereka berujar: “Cara penghangatan yang bagus, Nak.” Dalam hati aku hanya tersenyum. Ini cara yang hangat untuk menyambut cerahnya masa depanku. Putih. Bersinar. Berkilau. Semuanya akan indah pikirku. Mungkin aku akan menjadi terpidana yang paling bahagia didunia ini. biarlah apapun yang mereka pikirkan. Perbuatan ini menyegarkanku.
Nampak jelas jalanan lengang. Hanya beberapa mobil yang melaju. Sisanya dibiarkan teronggok mati seperti dua kawanku tadi. Mereka mungkin tak akan menikmati dinginnya salju kala musim ini datang. Karena mereka beku. Pun dengan apa yang telah mereka lakukan. Membekukan seorang bocah asia sepertiku.segera setelah itu aku menyeberang jalan ditemani nafas yang terengah-engah. Udara dingin nampaknya membuat pendek alur pernafasan. Maklum,ukuran paru-paru orang asia memang jauh lebih kecil. Nampak kesulitan, melewati terjangan hujan salju yang dahsyat seperti ini. untungnya mataku segera menemukan tempat penghangat badan diseberang jalan. Sebuah warung Ramen khas Jepang
Nampak sulit menemukan warung seperti ini. terlebih ini Amerika. Tanpa banyak simpulan, aku segera masuk. Terpampang ruangan yang luas, tertata beberapa meja beserta kursinya yang panjang dan peralatan makan mie seperti sumpit, manguk kecil tak luput sambal dan kecap. Hah, ini lebih mirip warung mie ayam milik Koh Amen di Negaraku. Tak apalah, akupun telah rindu suasana seperti ini.Sedikit ini, semoga dapat mengobati kerinduan pada negaraku.
Segera aku mendekat kepada penjual mie itu.
“Can I eat some heatfood today, Sir?” tanyaku.
“ tak usah pakai bahasa Inggir segala, sedikit-sedikit aku sudah mulai lancar berbicara bahasa Indonesia” jawab pria bermata sipit sembari memberiku semangkuk Ramen.
Aku terperangah kaget juga mendengarnya. Oh, mungkin ia mengenaliku dari emblem bendera yang ada di saku kiriku. Aku lantas tersenyum.
Meja didepanku menjadi ajang pelepas lelah. Nampak makin ramai saja warung ini. tak nampak wajah-wajah asia, yang ada justru raut khas arek-arek Amerika yang berdatangan. Pada dasarnya bukan keramaianlah yang mengalihkan perhatianku. Fokusku tertuju pada seorang pria jelek yang duduk disudut ruangan. Ia seperti merefleksikan keadaanku dalam kelas. Selalu tersudut dan menjadi orang jelek. Apakah salah jika dinegara ini aku berambut hitam. Berkulit coklat sawo matang, dan berbolamata warna coklat. Kesukaanku makan nasi dan pakaian faforitku adalah batik. Orang-orang disini nampaknya terlalu sensitif. Dua temanku akhirnya menghasut kawan-kawan yang lain. Hingga satu persatu mereka menjauhiku. Dua orang yang kini tergolek tanpa nyawa itu telah membunuhku jauh sebelum pisauku membunuhnya. Mereka membunuh karakterku. Membuatku terasing tanpa kawan. Semua menjauhiku. Dan mereka sukses. Aku sendiri. Mereka menjauhiku. Katanya aku si sial yang membuat segala kejadian menjadi kacau. Membuatku sendiri. Bebal batu yang sangat kaku.
Ah, dan segera emosiku membuncah lalu tak tertahan pada empatpuluh menit yang lalu. Setelah beberapa bulan aku terkatung-katung muncul lintasan hati yang menyuruh tanganku menghampiri pisau, berlari lalu menghujamkannya pada dua temanku yang sangat bahagia. Seperti sudah kehabisan cahaya rupanya hati ini. yang ada hanya niat hitam untuk membalas dendam. Dan itu sudah tersampaikan beberapa waktu lalu.
Tak lama setelah pikiranku melayang-layang, tuan-tuan terhormat bernama polisi segera masuk dan menghampiri. Aku pikir inilah waktu yang tepat untuk menyambut hari-hari cerahku. Aku akan berujar pada mereka.
“Sir…” ucapku
Mereka segera menghampiri aku.
“Aku telah membunuh dua orang temanku disebuah gedung beberapa blok dari sini.” Jelasku.
Segera, mereka saling berpandangan. Lalu terkekeh dan meledaklah tawanya.
“ini adalah lelucon paling lucu untuk hari ini.” ujar salah seorang dari mereka.
“apa kau pikir bocah ini bisa membunuh?
“Aku pikir ia masih suka minum susu dan dinyanyikan lagu nina bobo pada malam hari.” Jawab pria yang lain.
Hahaha. Tawa mereka.
“ayo ikut aku” ucapku agak ketus.
Aku segera mengajak mereka menuju tempat pembunuhan. Aku hanya ingin mereka tahu bahwa orang asia tak pernah kalah. Orang asia mampu mengalahkan arek-arek Amerika tanpa senapan. Cukup dengan pisau saja. Akupun membuktikan bahwa badan kecil mampu menumbangkan badan yang lebih besar.
Setelah sampai, aku membuka pintu. Astaga, betapa terkejutnya aku. Kemana dua mayat yang tergeletak tadi?kemana pula bekas darah yang tertinggal? Tanyaku tak habis menghiasi pikiranku.
“nak kamu benar-benar bercanda hari ini.” ucap salah seorang polisi.
TAMAT


Tidak ada komentar: