Halaman

Rabu, 01 Desember 2010

Seragam Kelas


Wanita itu keluar. Dia tepat dibelakangku, tepat keluar dari pintu saat aku beberapa langkah di depannya.
“Ada…Ada….tunggu sebentar” ucap wanita itu.
Wanita itu, wanita dengan gamis dan jilbab lebar itu adalah dosenku. Dosen kemahasiswaaan. Dosen yang paling akrab dan paling banyak tahu tentang mahasiswanya. Dosen yang lebih mengerti mahasiswa dibandingkan dosen lain pada kampus ini. Bagiku dia dosen sekaligus kakak. Sekaligus guru, sekaligus ibu yang amat menyenyangkan dan baik hati. Dosen yang mungkin senafas dengan apa yang aku fahami dari mas Emer. Yah, dosen itu sekarang adalah sosok pengganti mas Emer yang telah pergi.
“Ada apa bu? Tanyaku." Sembari berjalan menuju kearah beliau.

Kenapa nggak pake sragam kelas hari ini.” Tanyanya
“ Saya masih belum punya alasan bu,” ucapku. Setengah berbisik.
Lorong ruang dalam kampus nampak cukup lengang, meski ada beberapa mahasiswa yang hilir mudik di jalan antara dua ruang itu. Kami berada disana, yah berada dalam lorong itu, lorong aneh.
“Lha kenapa, to? Kok nggak mau pake seragam?” tanyanya kembali sembari menoleh ke kanan kiri.
Aku semakin tak mengerti. Aha, atau jangan-jangan karena didalam kelas tadi aku Cuma klentrak-klentruk? Ah, itu bukan alasan kenapa aku diintrogasi oleh dosen ini. Oh, seragam kelas. Aku hari ini memang tengah tidak menggunakannya. Jelas. Ini adalah most trouble maker yang memempel pada tubuhku. Ah, kenapa dengan dosen ini? kenapa? Kenapa? Kenapa beliau menanyaiku dengan pertanyaan-pertanyaan itu.
Ya, bu. Ya, aku salah karena tidak mengenakan seragam. Memang itu salahku. Tapi jelas tergambar bagaimana alasan yang tak aku ungkapkan kepada beliau. Ya, alasan berupa kejadian kongkrit yang tak aku ungkapkan. Ya, aku memang belum membayar uang seragam itu. Namun bendahara kelas yang baik hati sudah memberikan seragam itu padaku dua minggu lalu. Dengan senang hati dia memberikannya padaku.
“Berapa nih?” tanyaku pada bendahara kelas.
“Tujuh puluh ribu, tapi kena diskon dari kas kelas, 5000 perak.” Jawabnya” Jadi kamu tinggal mbayar sisanya.”
Aku hanya menggaruk kepala, sembari cengas-cenges menatap bendahara itu. Pikirku mana mungkin aku dengan cepat mendapat uang sebesar itu, upah jaga warung memang bisa diandalkan, tapi itu baru dapat diambil setelah tanggal 1 tiap bulannya.
“ Besok ya?” ucapku meminta keringanan.
“Iya deh, aku tahu kok” jawabnya
Hal yang sial. Sebuah beban pikiran kembali menumpuk dibawah tengkorak dan sedikit diatas otakku. Ngawang-awang. Nggak pede saja rasanya mengenakan seragam itu. Seragam seharga nominal kecil bagi kaum golongan atas dikelasku. Tapi begitu besar harganya dimataku. Wuih, andai aku memakainya, bakal menjadi bahan ejekan oleh kaum borjuis itu. Pasti, pasti dan pasti, manatah mungkin bisa seorang Ada Irsyad Hakim hendak mengenakan seragam semewah itu. Untuk makan saja dia hanya menumpang pada rasa belas kasihan budhenya. Benar-benar anak yang merepotkan aku ini, ucapku dalam hati.
“ Da, ikut ibu ke kantor” ucap wanita bergamis itu.
Segera saja aku mengikutinya melangkahkan kaki menuju kantor dosen. Diruang itu tak ada satu ekor manusia yang tersisa. Hanya meja, kursi serta beberapa tumpuk buku yang tersusun rapi diatas meja. Sepi, seperti hembusan nafas yang kau hembuskan kala pagi menghampiri, begitu lengang tetapi berat.
“ Sudah, sekarang katakanlah alasanmu pada ibu. Kenapa hari ini nggak pake seragam lagi?”
Aku menggelengkan kepala, “Saya benar-benar tak ada alasan bu” kembali aku ucapkan kata kata itu lagi dihadapan beliau.
Wanita bergamis itu merogoh sakunya, tak pernah berfikir aku tentang hal itu. Beliau mengeluarkan lembaran kertas berwarna biru. Nominal sangat fantastis bagiku. Bagi seorang Ada Irsyad Hakim. Bagi seorang mahasiwa yang menjadi penjaga warung di sore harinya. Dia menjulurkan itu kepadaku.
“Terimalah” Ucapnya disertai senyum penuh keseriusan.
BOOM, pikiranku kalap. Terbang kemana-mana, termasuk mengingat saat simbah memberiku duapuluh ribu saat aku masuk Kuliah. Pemberian Dua puluh ribu pertamaku, sekaligus yang terakhir dari simbah. Kejadian itu terulang kembali.
Kala itu simbah main ke rumah. Dengan tenaga rentanya beliau sempatkan main ke rumah. Yah, benar, bukan rumahku, tepatnya rumah kepemilikan penuh dan utuh oleh budhe. Dia mencariku, menjulurkan dua puluh ribu itu, memaksaku menerimanya.
Dinggo sangu le. Simbah raiso ngenehi akeh, sithik eding muga iso nambah lehmu tuku es lan jajanmu raketan munk sithik-sithik (buat uang saku nak, simbah tidak dapat memberi banyak. Sedikit-sedikit semoga bisa menambah uang buat belie s dan jajanmu, ya meski hanya sedikit)”
Geblek, dungu, tolol. Aku memaki diriku. Dihadapan dosen itu kenapa aku jadi mbrambangi seperti ini. mataku kenapa jadi berat? Pun dengan nafasku. Nampaknya aku memang sulit bersandiwara didepan dosen ini.
“Terimalah ini,” bujuk dosen itu.
“Tidak bu, tidak” ucapku tegas, walau dengan suara yang lembek.
Dosen itu bergeming. “terima saja, buat jajan kamu” ucapnya.
Mataku semakin berat. Semakin sulit menyembunyikan apa yang terasa dalam tubuhku. Andaikan aku adalah bom aku pasti meledak saat itu. Meledak dengan sangat keras dan tak menyisakan keping, melainkan hancur menjadi partikel-partikel kecil yang beterbangan diudara lalu hilang seketika. Alasannya terkait tentang ingatanku pada simbah, sehari setelah simbah memberiku uang itu, keesokan paginya ia pun tiada. Sedih rasanya. Hal itulah yang membuatku ingin meledak. Meledak sekeras-kerasnya, namun aku masih terbungkus kulit. Ledakan manusia mungkin berupa muka merah padam atau lelehan air mata yang mengalir. Semenjak itu aku pun bertekad tak akan meminta atau menerima sumbangan yang diberikan secara Cuma-Cuma padaku. Aku hanya ingin mendedakasi sikap simbah yang luar biasa. Dibalik kerentaannya dia ternyata masih memiliki sikap memberi, sikap hendak mengembangkan senyuman orang lain dibalik keterbatasan yang beliau miliki. Maka aku ingin menirunya. Aku tak ingin menerima sesuatu tanpa ada keringat sebelum mendapatkannya.
“Tidak bu…tidak” ucapku.
“Eh jangan menolak rejeki, dosa lho.!!” Bujuknya agar aku mau menerimanya.
“Tidak bu, tidak.” Ucapku.
Bu dosen itu menjulurkan tangannya hendak meraih saku bajuku. Aku menghindar. Tidak seperti ini bu. Tidak.
“Tidak bu, terimakasih.” Jawabku sembari memutar badan lalu segera beranjak pergi menjauhinya.
Aku berlari menjauhi beliau. Lari, menuruni anak tangga. Lari, menjahi kerumunan orang agar mereka tak mengetahui apa yang aku rasakan. Rasa berat menerima bantuan orang lain yang berusaha membantuku mengatasi masalah sragam kelas dibalik tempurung kepalaku.
Maaf bu, maaf, ucapku dalam hati.
----jogjakarta 7 hari setelahnya:----
“ Hey ternyata baju ini berwarna krem, bukan kuning” ucapku pada teman disebelahku.
“Ya, sesuai dengan warna kulitmu nampaknya” jawabnya
“hahahahahaha” kami berkelakar bersama.

TAMAT


6 komentar:

Belajar bikin Blog mengatakan...

hahahaha.... ini curhat y mas,
tapi bagus juga....

kang ocol mengatakan...

oke....
lanjutkan

Belajar bikin Blog mengatakan...

wah, admin karo penulis malah smsan, hahahaha..........

kang ocol mengatakan...

haha....saling memberi komentar gitu...

tri agus mengatakan...

bagus juga, bermakna, jangan suka menerima, tapi senanglah memberi

Reni Wind mengatakan...

ooooo..kuwi..
sebagai penulis berideologi hmm..okelah lumayan, coba "kemasuk-akalan"nya diperhalus, hehe jik kasar (peace :D). But, I like the theme. You'll be a good writer bratha, lanjutkan!